Korporatisasi Berbasis Produksi Ciptakan Koperasi Kelas Dunia

Korporatisasi Berbasis Produksi Ciptakan Koperasi Kelas Dunia

JAKARTA, investor.id – Pemerintah harus segera membuat program korporatisasi koperasi dengan berbasis produksi terutama di sektor pertanian dan pangan, dari saat ini yang masih banyak simpan pinjam dan sering dijadikan kedok investasi bodong. Langkah strategis tersebut akan menciptakan koperasi kelas dunia, seperti dilakukan di Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Eropa yang petaninya memiliki pabrik pengolahan modern dan memasarkan produk ke mancanegara.

Dari 300 koperasi terbesar di dunia berdasarkan omzet, menurut laporan World Co-operative Monitor yang dirilis tahun ini, 106 atau sepertiga lebih bergerak di sektor pertanian dan industri pangan. Di sektor ini, koperasi yang terbesar berdasarkan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) adalah Zen-Noh dari Jepang senilai sekitar US$ 56,15 miliar, diikuti Nonghyup US$ 41,41 miliar dari Korea Selatan, dan CHS Inc US$ 32,68 miliar dari Amerika Serikat.

Sementara itu, koperasi terbesar dunia berdasarkan omzet di seluruh sektor adalah koperasi bank Groupe Crédit Agricole dari Prancis sekitar U$ 89,10 miliar. Berikutnya, retailer REWE Group dari Jerman dengan omzet US$ 63,07 miliar, koperasi banking group Groupe BPCE dari Prancis (US$ 63,01 miliar), serta koperasi asuransi Zenkyoren (US$ 58,14 miliar) dan koperasi pertanian Zen-Noh (US$ 56,15 miliar) dari Jepang.

Oleh karena itu, koperasi di Tanah Air yang masih banyak berupa koperasi simpan pinjam (KSP) harus segera didiversifikasi ke koperasi produksi, sehingga memberikan nilai tambah lebih tinggi kepada anggota. Selain itu, harus diawasi dengan baik oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), agar tidak diselewengkan sebagai kedok investasi bodong yang merusak citra koperasi dan merugikan masyarakat.

Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dedi Setiadi mengatakan, peran koperasi sangat penting untuk kesejahteraan para anggota. Maka itu koperasi harus dikelola secara berkelanjutan dan transparan.

Dedi mengatakan, koperasi susu di Indonesia sudah berdaya saing, karena produk yang dihasilkan susu yang sudah memenuhi standar pemerintah serta diolah oleh industri pengolahan susu, dan bahkan diekspor ke luar negeri. “Agar koperasi susu Indonesia lebih berdaya saing dan bisa berkompetisi dengan koperasi dunia, maka peran pemerintah dibutuhkan di sini. Saat ini, kendala utama GKSI terkait lahan untuk pengembangan sapi, karena banyak lahan di Indonesia masih berada di kawasan hutan. Lahan adalah tempat hidup di mana sapi makan dan menghabiskan waktunya, tetapi hingga kini lahan untuk pengembangan sapi masih relatif sedikit,” ujar dia ketika dihubungi Investor Daily, di Jakarta, Jumat (9/7).

Ia meminta kepada pemerintah agar menambah lahan untuk aloksi pengembangan sapi lokal, sedangkan untuk urusan rumput atau pakannya bisa diproduksi sendiri. Kemudian, GKSI juga meminta agar pemerintah mengembangkan bibit sapi unggulan, untuk memperpanjang masa hidup sapi lanjutan atau regenerasi.

“Rumput bisa diproduksi, tetapi yang paling utama adalah urusan lahannya. Selain itu, bibit unggul menjadi kunci untuk pengembangbiakan sapi ke depan. Dalam rangka menyambut Hari Koperasi ke-74 pada 12 Juli nanti, GKSI mendesak pemerintah untuk memperbanyak lahan untuk pengembangan sapi, karena sapi masih dibutuhkan terutama produk turunannya seperti susu dan daging (yang masih banyak diimpor), padahal sudah menjadi kebutuhan utama manusia,” tandasnya.

GKSI merupakan wadah bagi para peternak susu dan sapi, dengan rata-rata satu anggota koperasi mempunyai 3-5 ekor sapi. Fungsi koperasi ini adalah memasarkan produk susu ke industri pengolahan susu, serta untuk menekan biaya perawatan dan logistik maupun biaya yang tidak terduga.

“Misalnya, satu orang peternak tidak menjadi anggota koperasi, ia akan kesulitan dalam mengelola sapi, terutama jika diserang penyakit tentu biayanya mahal. Tetapi jika peternak masuk dan menjadi anggota koperasi, maka biaya akan ditanggung bersama sama. Selama 50 tahun GKSI berdiri, peternak merasa aman dan terlindungi, karena mereka berada dalam satu rumah yang mempunyai visi dan misi besar,” ucapnya.

Jangan Hanya Simpan-Pinjam
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka Kemenperin Gati Wibawaningsih mengatakan, perlu adanya penyegaran koperasi yang tidak hanya mengurusi soal simpan pinjam. “Para pengurus koperasi harus diberi pelatihan soal digitalisasi dan bisnis agar bisa mengikuti zaman,” ujarnya.

Selain itu perlu meningkatkan kualitas SDM pengurus, termasuk kemampuan teknis dalam produksi dan manajemen. Harus ditingkatkan pula kesadaran anggota yang masih minim, serta diperkuat permodalan, akses pasar, dan pengawasan koperasi.

UU No 25/1992 Perkoperasian
Dirut Inkud Portasius Nggedi menilai, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah sangat baik, sehingga tidak perlu diamandemen kembali. Namun, lanjut dia, situasi saat ini sedang berubah sangat cepat dan pesat, sehingga mau tak mau membuat koperasi juga perlu ikut bersaing.

“Langkah yang diambil cukup dengan reformasi dari dalam, pertama, soal reformasi sumber daya manusia (SDM). Misalkan, KUD saat ini masih dipimpin oleh orang tua, kenapa anak milenial nggak masuk ke sana? Dengan SDM yang baik, pasti ada akselerasi, pengelolaan yang lebih profesional,” ujar dia saat dihubungi Investor Daily, Jumat (9/7).

Kedua, reformasi mengenai orientasi bisnisnya, agar sesuai dengan perkembangan zaman dan anggota yang punya orientasi berubah.

Misalnya, pengelolaan padi yang sudah berubah dengan menggunakan teknologi, tidak tradisional lagi, sehingga terjadi efisiensi dan output-nya akan jauh lebih baik. Dengan demikian, akhirnya petani mendapatkan nilai lebih.

Ketiga, reformasi masalah digitalisasi koperasi. “Ini merupakan sebuah kebutuhan, sehingga terjadi transparansi, sehingga anggota semakin percaya. Itu yang kami lakukan sekarang, karena sangat penting, kalau tidak, kita akan sangat ketinggalan,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, pihaknya sudah memiliki pusat KUD di 31 provinsi dan 9.437 KUD tingkat primer di kabupaten/kota. Sedangkan jumlah anggota petani sekitar 13,6 juta orang.

“Perubahan itu tentu akan ada benturan atau hambatan karena mereka (anggota) sudah terbiasa dengan cara konvensional. Kami coba perkenalkan ke bawah tentang digitalisasi dan responsnya diterima, tapi banyak yang gaptek tentang teknologi. Ini hambatan, tapi terus ada pelatihan,” ujarnya.

Yang Dibutuhkan Pemberdayaan
Mengenai peranan UU Cipta Kerja terhadap koperasi, Portasius mengatakan, omnibus law ini punya tujuan baik agar orang semakin mudah berkoperasi. Sebab, dengan bermodalkan 9 orang dapat membentuk koperasi. Namun, menurut dia, yang dibutuhkan saat ini jauh dari hanya kemudahan membentuk sebuah koperasi.

“Bukan masalah seperti itu, seharusnya lebih ke pemberdayaan, bukan mempermudah pembentukan koperasi. Pemberdayaan itu hampir tak disentuh oleh pengurus (otoritas) koperasi, karena itulah tidak terjadi distribusi kesejahteraan ke bawah,” ujarnya.

Portasius mengungkapkan, terobosan yang dia lakukan saat ini untuk mempercepat kesejahteraan pada tingkat terbawah, dengan mendistribusikan logistik melalui gudang-gudang yang sudah disiapkan.

“Sekarang kami lagi siapkan 1.000 gudang untuk mendistribusikan logistik kebutuhan sembako masyarakat di Jawa-Bali. Kami menggandeng mitra bisnis. Barang-barang itu langsung masuk (dari mitra) ke gudang KUD di desa. Dalam satu desa/kecamatan, KUD ini punya banyak anggota yang punya warung, yang kemudian ambil barang ke gudang KUD dengan harga murah, plus dengan sistem konsinyasi. Khusus di Jawa Tengah, sudah siap dijalankan di 75 gudang. Tujuannya mendistribusikan kesejahteraan,” tutur dia.

Investasi Bodong Berkedok Koperasi
Portasius juga menyoroti kehadiran investasi bodong berkedok koperasi yang sangat mengganggu. Tujuan mereka lebih kepada akumulasi modal, dan masyarakat tidak cerdas melihat hal itu. “Berkoperasi itu yang harus dilihat track record-nya, bukan iming-iming keuntungan,” ujarnya.

Ia juga mendesak pemerintah merealisasikan rencana korporatisasi koperasi. Menurut dia, masalah dasar yang harus diatasi lebih awal adalah masalah tengkulak, yang sering memainkan harga di tingkat petani, sehingga menyulitkan petani untuk lebih berkembang.

“Saya sangat setuju akan korporatisasi koperasi, walau tidak mudah. Selain masalah tengkulak, yang harus diperhatikan adalah penanganan dari sisi hulu hingga hilir. Sebab, hanya menangani masalah hulu saja, tidak akan mendatangkan banyak manfaat bagi peningkatan kesejahteraan petani. Saya punya mitra bisnis di Taiwan dan Jepang, saya ajak ke sini, tapi datang sebagai pendamping saja, karena saya punya tenaga ahli. Kemudian, kita bikin perjanjian bahwa hasilnya juga diekspor ke dua negara itu. Jadi, dalam hal ini, kita harus bicara hulu sampai hilir, mulai tanam sampai produksi hingga pasar,” paparnya.

Kementerian Koperasi dan UKM yang sudah membina dan mengarahkan koperasi, lanjut dia, bila terjadi kepincangan perlu disempurnakan bersama. “Di saat pandemi ini, koperasi dan UMKM itu menerima dampak yang paling besar, mulai dari modal hingga akses. Dengan demikian, perlu banyak diberikan insentif agar lebih cepat berakselerasi dan segera pulih,” ujarnya.

Kerja Sama Mentan
Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan sebelumnya , pihaknya bekerja sama dengan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk mendorong program korporatisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bidang pertanian dengan pendampingan dari perguruan tinggi.

Menteri Pertanian serta Menteri Koperasi dan UKM juga melakukan diskusi dengan Rektor IPB Arif Satria, untuk mempersiapkan konsep yang terukur dan terencana di bidang pertanian. Komoditas unggul hasil riset dan uji coba di kampus, harus bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu yang dapat diterapkan di masyarakat.

Program korporatisasi UMKM bidang pertanian ini sasarannya adalah mendorong penguatan kelembagaan pada petani berskala UMKM. Pada pelaksanaannya, pelaku UMKM pertanian ini ada pendampingan dari perguruan tinggi yakni IPB yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil riset, sehingga dapat membangun pertanian modern di berbagai daerah.

Membangun pertanian modern pada skala UMKM ini adalah membangun pertanian dengan menggunakan komoditas unggul, teknologi modern, serta penguatan kelembagaan melalui korporatisasi, sehingga ada jaminan pembiayaan dan pemasaran hasil. Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta perguruan tinggi akan bekerja sama dalam mengembangkan hulu hingga hilir sektor pertanian.

Kementerian Koperasi UKM bertugas membentuk kelembagaan yakni koperasi, Kementerian Pertanian melakukan budi daya dan peningkatan produktivitas petani, sedangkan perguruan tinggi mengkoordinasi budidaya di hulu maupun hilir. Hal ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo bahwa kementerian perlu melibatkan perguruan tinggi dalam menciptakan inovasi produk, khususnya produk pertanian.

Kisel akan ‘Masuk’ Bursa
Mengacu landasan hukum koperasi saat ini yang menggunakan UU sebelumnya, yakni Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi terbagi dalam 5 jenis. Ini mencakup koperasi produsen, koperasi konsumen, koperasi pemasaran, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam. Koperasi konsumen tercatat yang terbanyak sekitar 76,3%. Sementara itu, koperasi sektor riil yang kinerjanya positif antara lain Koperasi Kisel, yang merupakan koperasi para karyawan PT Telkomsel.

Ketua Pengurus Koperasi Telekomunikasi Seluler (Kisel) Suryo Hadiyanto menyampaikan, Kisel menargetkan total pendapatan usaha (revenue) Rp 7,1 triliun pada 2021. Ini meningkat sekitar Rp 300 miliar dibandingkan pencapaian tahun 2020 senilai Rp 6,8 triliun.

“Terbesar masih akan dikontribusi 80% dari penjualan pulsa dan data, serta sisanya 20% dikontribusi dari lima anak usaha yang berbentuk PT (perseroan terbatas). Kami punya anggota sekitar 4.000, atau mencakup sekitar 80% dari jumlah 5.000-an karyawan Telkomsel,” ujar Suryo.

Walaupun merupakan badan usaha berbentuk koperasi, lanjut dia, Kisel saat ini memiliki lima anak usaha yang berbentuk PT. Anak usahanya pun nantinya berpeluang masuk bursa efek, jika bisnisnya terus berkembang dan butuh suntikan modal dari pasar modal.

Lima anak usaha Kisel terdiri atas PT Kinarya Alihdaya Mandiri (penyaluran tenaga outsourcing), PT Kinarya Selaras Tour and Travel (MICE), dan PT Kinarya Selaras Piranti (office support). Selain itu, PT Kinarya Utama Teknik (infrastruktur telekomunikasi) dan PT Kinarya Selaras Solusi (digital business solution).

Selama ini, permodalan Kisel diperoleh dan mengandalkan dari simpanan pokok dan wajib anggota karyawan Telkomsel dan penyertaan modal anggota. Selain itu, dari perbankan jika memerlukan tambahan modal besar untuk ekspansi bisnis yang menjanjikan.

Dia menjelaskan, kiprah Kisel sebagai koperasi yang modern sudah diakui dunia. Pada 2018, Kisel masuk peringkat ke-94 koperasi terbaik dunia versi World Co-operative Monitor tahun 2018 dengan laporan turn over terakhir tahun 2016 sekitar US$ 121,54 juta.

Suryo menjelaskan, Kisel disebut sebagai koperasi modern, karena sistem kerjanya sudah disentuh teknologi dan manajemennya dijalankan dengan cara-cara yang sangat modern. Semua sistem kerja, antara lain sistem pengelolaan SDM, pemasaran, keuangan, SDM, dan pengelolaan aset sudah serba terdigitalisasi, dan tak manual lagi.

Sistem pemasarannya, di antaranya penjualan pulsa data sudah menggunakan kanal-kanal yang modern, selain menjual secara fisik di konter. Kisel juga telah bekerja sama dengan OVO dan Tokopedia untuk bertransaksi. Kisel ini juga telah memperoleh sertifikat global, yakni ISO 9001 untuk manajemen mutu dan 27001 untuk keamanan sistem informasinya.

Pastikan Ada Pasar
Sedangkan Asisten Deputi Pengembangan dan Pembaruan Bidang Perkoperasian Bagus Rachman mengatakan, koperasi diharapkan dapat berperan lebih optimal dalam pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah atau UMKM.

Dengan adanya peran koperasi sebagai aggregator, nantinya UMKM bisa bersinergi dan memperluas jaringan bisnis. Dengan adanya sinergi UMKM dalam koperasi, lanjut dia, maka akan ada penentuan standar produk hingga strategi promosi produk. UMKM bisa fokus ke produksi dan koperasi yang menghubungkan UMKM ke pasar.

“Koperasi bukan hanya berperan sebagai agregator, tetapi juga memastikan ada pasar yang memang bisa dipenuhi oleh produksi dari para anggotanya. Inilah kita bicara koperasi punya peran penting ke UMKM,” ucap Bagus dalam seminar daring pada Jumat (9/7).

Dia juga mendorong peran milenial dalam transformasi digital koperasi. Milenial ini masuk penduduk usia produktif (15–64 tahun). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus penduduk 2020, persentase usia produktif terus meningkat sejak 1971. Pada 1971, proporsi penduduk usia produktif adalah sebesar 53,39% dari total populasi dan meningkat menjadi 70,72% di 2020.

“Ini potensi untuk mengintegrasikan mereka, supaya mereka juga punya ruang untuk menjadi produsen. Ini penting dalam konteks untuk bisa mendigitalisasi koperasi,” ucap Bagus.

OJK Tidak Awasi Koperasi
Pada kesempatan terpisah, Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L Tobing menegaskan, OJK tidak memberikan izin dan mengawasi koperasi, termasuk Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (KSP Indosurya) yang mengalami gagal bayar dan merugikan anggotanya. Pasalnya, hal tersebut bukan kewenangan OJK. “Pengawasan koperasi ini bukan di bawah OJK, tetapi di Kementerian Koperasi dan UKM,” ujar Tongam kepada Investor Daily, Senin (21/6).

 Dia juga menegaskan, pelayanan di koperasi tidak sama dengan lembaga jasa keuangan yang diawasi oleh OJK. Oleh karena itu, dia meminta agar masyarakat lebih berhati-hati dalam berinvestasi. Terlebih lagi jika diiming-imingi imbal hasil tinggi.

“Sebelum melakukan investasi, masyarakat harus ingat 2L yaitu Legal dan Logis. Kami juga meminta masyarakat memahami bahwa KSP hanya melayani anggota atau calon anggota,” ujar Tongam.

Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyampaikan, upaya untuk mempercepat atau bahkan membuat program satu desa satu koperasi adalah hal yang sah-sah saja. Tapi, kalau melihat perjalanan koperasi sampai saat ini, pemerintah sebaiknya mencoba untuk memperbaiki tata kelola lebih dahulu.

Dia mengatakan, sebagian besar persoalan yang telah terjadi di koperasi disebabkan tata kelola dan pengawasan yang masih kurang. Berkaca pada koperasi simpan pinjam yang melakukan menerapkan selisih bunga, jika dibandingkan dengan jasa keuangan lain yang diawasi OJK, koperasi relatif memiliki aturan yang lebih longgar terkait tata kelola.

“Karena mengelola uang, maka seharusnya ukuran kehati-hatian, monitoring, sehinggga tata kelola juga harus selevel dengan bank ukuran kecil. Kalau tidak, celah monitoring yang ada di koperasi akhirnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Fungsi pengawasan ada, tapi belum optimal,” ujar Eko.

Dia juga menyatakan perlunya regulasi yang memadai mengenai tata kelola, bukan untuk menghambat pendirian koperasi baru, melainkan memastikan bahwa pendirian koperasi sehat sejak awal. Pasalnya, begitu ada masyarakat bergabung dan menemui masalah di suatu waktu, maka reputasi koperasi secara keseluruhan akan tercoreng. Padahal, koperasi dinilai menjadi konsep paling ideal untuk masyarakat kelas bawah agar bersama-sama sejahtera. (pri/tl/th/man/ns)

Editor : Esther Nuky (esther@investor.co.id)

Sumber : Investor Daily

Share

admin